Judul : Anggotanya DIGANTUNG, MARINIR Siap TENGGELAMKAN Singapura...Ngeri...! Simak Kisah Selengkapnya....
link : Anggotanya DIGANTUNG, MARINIR Siap TENGGELAMKAN Singapura...Ngeri...! Simak Kisah Selengkapnya....
Anggotanya DIGANTUNG, MARINIR Siap TENGGELAMKAN Singapura...Ngeri...! Simak Kisah Selengkapnya....
Anggotanya DIGANTUNG, MARINIR Siap TENGGELAMKAN Singapura...Ngeri...! Simak Kisah Selengkapnya.... |
Mereka tegar sekali, berjalan dengan sikap sempurna sebagai prajurit menuju tiang gantungan. Mereka digantung bergantian memakai satu tali gantungan.
Sebagai bentuk penghormatan kepada prajurit yang berjasa bagi bangsa dan negara, TNI AL berniat menamai kapal perangnya dengan nama KRI Usman Harun. Sersan Dua Usman Janatin dan Kopral Harun Said merupakan anggota KKO (Korps Komando Operasi; kini disebut Marinir) yang tewas di tiang gantung Singapura (Foto Cover: Marinir).
Pemberian nama Usman Harun kepada kapal perang itu mendapat tentangan keras dari pemerintah Singapura. Alasannya penamaan kapal perang tersebut akan melukai perasaan rakyat negeri jiran itu.
Usman dan Harun sendiri merupakan anggota satuan elite Marinir (KKO) yang ditugaskan mengebom pusat keramaian di Singapura pada 1965. Keduanya adalah marinir yang melaksanakan tugas negara pada periode konfrontasi dengan Federasi Malaya. Setelah tertangkap, keduanya kemudian dieksekusi dengan cara digantung pada 17 Oktober 1968.
Digantungnya dua prajurit KKO mengakibatkan aksi demonstrasi terjadi di mana-mana. Rakyat menuntut agar Presiden Soeharto menyatakan perang dengan Singapura.
Dalam buku 'Singapura Basis Israel Asia Tenggara', Rizki Ridyasmara menuliskan; "Kala itu bahkan terdengar suara bahwa KKO sudah siap menyerang Singapura dan dalam tempo dua jam sanggup menenggelamkan negara kecil tersebut ke dasar Selat Malaka".
Dalam buku setebal 212 halaman tersebut, Rizki menuliskan, ancaman KKO tersebut bukan gertakan semata. Saat itu, kekuatan armada perang Republik Indonesia warisan Presiden Soekarno sangat ditakuti di Asia Tenggara.
"Australia pun kecut untuk berbuat macam-macam dengan Indonesia. Soekarno telah mewariskan armada perang yang kuat kepada Soeharto", tulis Rizki dalam Bab IV: Moncong Meriam di Jidat Indonesia.
Namun sayang, Presiden Soeharto yang baru memimpin republik ini belum menyatakan perang dengan negara yang luasnya tidak lebih dari dua kali Kabupaten Karawang itu. Oleh Soeharto , keduanya langsung diberi gelar pahlawan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Misi Negara
Bermula dari pidato Presiden Soekarno di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Monumen Nasional), 27 Juli 1963. Para pemuda, termasuk Usman dan Harun, tergerak mendaftar menjadi relawan Ganyang Malaysia. Bahkan jumlah mereka mencapai 21 juta orang.
Singapura saat masa konfrontasi, 1963-1965, terasa mencekam. Pemerintah negara kota itu sudah memperingatkan penduduk lewat siaran televisi dan radio agar menjauhi tempat-tempat keramaian. Sebab ledakan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Era konfrontasi dipicu oleh berdirinya negara Federasi Malaysia pada 1957. Presiden Soekarno menudingnya sebagai negara boneka Inggris, serta dibentuk untuk melemahkan perekonomian Indonesia. Dalam pidato 27 Juli 1963 di Lapangan Ikada, Soekarno mengobarkan slogan Ganyang Malaysia.
Sejak pidato Soekarno pula, kecemasan dan ketakutan melanda warga Singapura. Penduduk di kampung-kampung giat melaksanakan ronda malam. Dari data kepolisian Singapura, kata Salim, selama masa konfrontasi terjadi 42 ledakan di seantero Negeri Singa itu.
"Waktu itu hampir semua pemuda rela mati demi mempertahankan keutuhan bangsa dari para penjajah, termasuk Usman dan Harun," kata Manoar Nababan, pensiunan Korps Komando Operasi (KKO) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut berpangkat Pembantu Letnan Satu.
Sebelum melancarkan perang terbuka Indonesia melancarkan operasi hitam atau misi intelijen untuk mengacak-acak negara musuh. Ada 30 prajurit KKO, termasuk Usman dan Harun, diterjunkan untuk melaksanakan misi sabotase di Singapura.
"Mereka diberangkatkan bertahap dari Pulau Sambu (Kepulauan Riau)," kata lelaki 74 tahun bernama samaran Bakrie bin Atub saat menyusup ke Malaysia. Manoar memperoleh rincian ini dari sejumlah tim intelijen Brahma selamat kembali ke Pulau Sambu.
Karena operasi intelijen, 30 anggota KKO itu harus memakai nama samaran. Komandan Brahma Kapten Paulus Subekti memilihkan nama-nama palsu itu untuk ke-30 anak buahnya. Usman adalah nama samaran bagi Janatin bin Muhammad Ali. Harun bin Said dipakai oleh Tahir bin Mandar. Gani bin Arup juga nama samaran. Tapi Manoar tidak tahu nama aslinya.
Manoar tidak ingat kapan Usman, Harun, dan Gani menyusup ke Singapura. Ketiganya berangkat menumpang kapal tekong. Ini merupakan perahu bermotor dengan kekuatan 200 PK. Biasanya kapal ini mengangkut barang selundupan, seperti karet dan pakaian.
Tekong mengetahui siapa sebenarnya ketiga orang berpakaian sipil itu. Namun dia mesti mengunci mulutnya rapat-rapat karena dia sudah dibayar, termasuk dibekali uang buat menyuap petugas bea dan cukai Singapura.
Usman, Harun, dan Gani masing-masing dilengkapi bahan peledak jenis TNT disembunyikan di antara barang selundupan. Ketiganya juga dibekali USD 1 ribu. "Penyusupan itu berlangsung malam," ujar Manoar.
Operasi bersandi Brahma ini juga berlangsung di wilayah timur Malaysia atau Kalimantan Utara. Tidak semua penyusupan berlangsung mulus. beberapa ditangkap dan sebagian ditembak mati tentara musuh. "Semua ciri kemiliteran dihilangkan, kita harus bisa berbaur dengan sipil. Sisanya kita dibekali seribu dolar Amerika," tutur Manoar.
Usman, Harun, dan Gani akhirnya berhasil melaksanakan tugas mereka: meledakkan jembatan penghubung antara Johor dan Singapura serta gedung MacDonald House. Mereka juga berhasil memetakan wilayah musuh dan sasaran strategis.
Dua sahabat setali gantungan
Kamis subuh, 17 Oktober 1968. Suasana hening masih menyelimuti Penjara Changi, Singapura. Namun kondisi Usman dan Harun tentu sebaliknya. Perasaan mereka campur aduk: sedih dan kecewa.
Sehabis salah subuh, sipir membuka pintu sel mereka. Rupanya Usman dan Harun kesatria sejati. Mereka tetap tegar. Sepasang petugas penjara mengapit masing-masing Usman dan Harun menuju sebuah ruang khusus terletak di tengah kompleks Penjara Changi. Di sanalah mereka bakal menjemput ajal.
"Mereka tegar sekali, berjalan dengan sikap sempurna sebagai prajurit," kata Humphrey Djemat saat ditemui merdeka.com di kantornya, lantai sembilan Plaza Gani Djemat, Jakarta Pusat. "Jadi tidak benar mereka dibius lalu urat nadi mereka dipotong."
Humphrey mendapat cerita dari mendiang ayahnya, Gani Djemat. Ketika eksekusi itu dilaksanakan, Gani Djemat hadir sebagai perwakilan keluarga. Jabatannya saat itu adalah atase militer di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura.
Masih menurut cerita Gani Djemat, kata Humphrey, prosesi hukuman gantung berlangsung sekitar dua jam, dimulai pukul enam pagi. "Mereka digantung bergantian memakai satu tali gantungan. Wajah mereka ditutup," ujar Humphrey.
Sebelum pelaksanaan hukuman mati itu, Gani Djemat empat kali menemui Usman dan Harun di tahanan. Sayangnya pertemuan dilakoni pihak Kedutaan Indonesia boleh dibilang sangat terlambat. Namun bukan kesalahan mereka. Tapi pihak Singapura memang baru memberitahu soal Usman dan Harun secara resmi dua bulan sebelum mereka digantung.
Sejak itu Gani Djemat ditugasi atasannya, Wakil Duta Besar Abdul Rahman Ramli, mengurus masalah kedua anggota Korps Komando Operasi tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu. Biasanya Gani menemui keduanya di ruangan khusus sekitar sejam.
Gani terus terang mengakui sangat terkejut melihat ketegaran Usman dan Harun. Mereka berkeyakinan melaksanakan tugas negara dan bukan teroris. "Hebat benar dua orang itu. Saya nggak nyangka. Saya pikir waktu ketemu pertama kali semangat mereka akan hilang dan putus asa," tutur Humphrey.
Selama dua bulan itu pula, Gani ikut mengupayakan mengubah hukuman mati buat Usman dan Harun, termasuk meminta maaf dari keluarga korban. Tetap saja vonis Hakim J. Chua dari Pengadilan Tinggi Singapura tidak mampu diganti. Hingga akhirnya kedua sahabat itu menjemput ajal di satu tali gantungan.
Pengorbanan dan jasa yang disumbangkan oleh Usman dan Harun terhadap Negara dan Bangsa maka Pemerintah telah menaikkan pangkat mereka satu tingkat lebih tinggi yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO. Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan BintangSakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Sumber: merdeka.com